Jumat, 14 Maret 2008

BILA KEMBAR BERSAING


“Punya anak kembar? Sering berantem ya?”
PERTANYAAN tadi acapkali dilontarkan kepada saya, ketika tahu saya memiliki anak kembar. Sepertinya stigma berantem ini melekat erat pada kembar. Padahal sejatinya, mereka anak-anak yang jauh dari keinginan berantem.

Bersaing Sejak Kandungan
PERSAINGAN antara dua anak kembar, sebenarnya tidak an sich sebagai sebuah perseteruan, Saya menilainya sebagai tanda persaudaraan yang kekal. Bagaimana tidak? Mereka sudah dalam keadaan survive sejak mereka membelah pada tahapan zygote, tahapan embrio bahkan ketika mereka terbentuk sebagai foetus (janin) dalam rahim ibu. Setiap tahapan mengandung risiko sendiri-sendiri. Dan mereka melaluinya dengan ”caranya” sendiri.

Saat terjadi pembelahan sel, risiko tidak membelah sempurna menjadikan terjadi fenomena kembar siam. Saat berdesakan sebagai foetus dalam rahim, risiko kematian salah satu foetus mengancam ketidakberlanjutan foetus kembarannya. Belum lagi begitu bayi kembar dilahirkan, ketahanan hidup masing-masing membuat yang mampu bertahan hidup di udara luar rahimlah yang masih bertahan.

Stigma di atas wajar terbentuk, karena memang pada tahapan pasca lahir yang bisa terlihat oleh orang. Sang bunda lah yang merasakan bagaimana mereka saling berebut menendang perut ibunya untuk membeikan reaksi balik atas usapan lembut di perut dan kecupan ayahnya. Bukan saling menendang karena berseteru sesamanya.
Justru ketika mereka menghirup oksigen pertama kali, orang dewasa memandangnya sebagai persetruan. Padahal mereka saling berceloteh gembira saat berebut puting susu bundanya. Kalau pun orang memandang sebagai sebuah persaingan, sepertinya itu karena pengaruh lingkungan sekitar.

Tak bisa dipungkiri, seiring berjalannya waktu, mereka kadang bersaing untuk mendapatkan perhatian lebih dari kedua orangtuanya. Itulah yang disebut sebagai persaingan dalam kacamata orang dewasa.

Berebut Perhatian
KETIKA kembar bersekolah, tanpa sadar persaingan pun dimunculkan oleh lingkungan. Celakanya orangtua (dan juga guru) berkontribusi memunculkan persaingan tersebut. Mereka dipisahkan kelasnya, untuk kepentingan agar guru tidak keliru saat menyebut mereka. Pemisahan ini pun akan berakibat menumbuhkan persaingan di antara mereka. Mereka akan berebut membuktikan diri, siapa yang lebih unggul di kelasnya masing-masing. Unggul di antara teman-teman sekelas, dan bisa jadi unggul dari kembarannya di kelas lain. Persaingan ini pun kadang berlanjut ke dalam rumah. Di mana mereka akan saling menceritakan keunggulan masing-masing selama hari-hari mereka di sekolah. Bagi saya, persaingan seperti itu wajar-wajar saja dalam hidup mereka. Bukankah itu bagian dari pendewasaan?

Uniknya anak kembar, walaupun mereka selalu ingin menunjukan semacam kelebihan mereka satu sama lain, hubungan di antara mereka tetap harmonis. Tetap kembali ceria, dan tetap bernuansa persaudaraan. Kadangkala meski muncul kecemburuan, mereka tetap merasa senang bila saudara mereka juga merasa senang. Egaliter dan unik, bukan malahan menjatuhkan seperti perseteruan sebagaimana dilakukan orang dewasa. Acapkali mereka saling menghormati kembarannya ketika mendapatkan prestasi lebih.

Mereka memang bersaing, namun mereka tetap masih bisa bekerjasama dengan akrab. Bahkan mereka acapkali memanfaatkan identitas kembar mereka untuk saling membantu sesama saudara. Cerita sinetron ada benarnya untuk hal ini.

Sikap Orang Tua
SEGALANYA tergantung pada orang tuanya. Sebaiknya kita harus ciptakan suasana yang kondusif di dalam rumah. Kalau pun memunculkan suasana persaingan, tetap membina mereka untuk berpikir konstruktif. Sering-seringlah mendoktrinasi kembar: bahwa mereka berdua sama-sama spesial dalam kacamata orang tua, bukan makhluk aneh karena anak kembar, dan betapa beruntungnya kita memiliki mereka berdua. Berilah pengertian bahwa dalam hidup ini ada yang kalah dan ada yang menang. Tidak semuanya menang. Hidup adalah sebuah pilihan.

Sumber: Pengalaman pribadi, www.inspiredkidsmagazine.com

Tidak ada komentar: